Hari Rabu, 1 Juni 2022, kita baru saja merayakan Hari Lahir Pancasila. Sebuah momen sakral dari rentetan peristiwa yang menunjukkan perjuangan pendahulu kita dalam mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Pancasila yang kita kenal sebagai dasar negara kita ini telah melalui proses panjang mulai dari perumusannya hingga akhirnya dikukuhkan menjadi dasar negara sekaligus ideologi yang menjadi identitas kita sebagai warga negara Indonesia. Melalui momentum sakral ini, kami ingin mengajak pembaca sekalian untuk menilik kembali perjuangan pendahulu kita dalam kilas balik perjuangan sastra di Indonesia.
Sastra Indonesia mulai berkembang pesat pada tahun 1920-an bersamaan dengan maraknya organisasi kepemudaan di Indonesia. Pada periode tersebut, sejumlah nama-nama pejuang pemuda kita seperti Muh. Yamin dan Sanusi Pane banyak mengirimkan sajak-sajak mereka dalam majalah Jong Sumatera. Salah satu karya yang paling terkenal adalah kumpulan sajak Muhammad Yamin yang terbit pada tahun 1922 yang banyak mengangkat tema-tema perjuangan dan semangat kebangsaan. Pada periode ini juga, novel-novel fenomenal seperti Siti Nurbaya (1922) dan Azab dan Sengsara (1920) bermunculan. Periode ini dinamakan sebagai Angkatan Balai Pustaka.
Periode berikutnya dimulai pada tahun 1930-an, dinamakan sebagai Angkatan Pujangga Baru. Salah satu karya yang terkenal pada periode ini adalah Layar Terkembang (1936) yang ditulis oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Novel ini menceritakan tentang perjuangan seroang perempuan Bernama Tuti dalam mewujudkan persamaan derajat wanita di Indonesia. Tuti banyak mengajarkan tentang nilai-nilai kemandirian dan betapa berharganya harkat wanita Indonesia. Selain itu, beberapa penyair juga turut meramaikan Angkatan Pujangga Baru dengan syair-syair bertemakan ketuhanan. Sebagai contoh, Amir Hamzah adalah seorang penyair yang konsisten menyuarakan pemikiran-pemikiran religiusnya. Beberapa karyanya antara lain “Padamu Jua” dan “Berdiri Aku” yang menggambarkan kerinduan seorang hamba kepada Tuhannya.
Pada periode 1940-an, perjuangan sastra di Indonesia dipenuhi oleh propaganda-propaganda Jepang. Banyak sastrawan Indonesia yang menulis novel-novel bertemakan keadaan sosial masyarakat Indonesia pada masa pendudukan Jepang dengan penggambaran yang berbeda dengan kenyataan aslinya. Banyak pula sastrawan-sastrawan yang ikut meluruskan kekeliruan ini dengan membuat karya balasan sebagai sindiran. Salah satu contohnya adalah sandiwara berjudul “Tuan Amin” yang dibuat oleh Amal Hamzah untuk menyindir Armyn Pane yang banyak menulis karya sastra propaganda untuk mendukung Jepang. Periode ini kemudian berlanjut pada masa kemerdekaan Indonesia yaitu pada tahun 1945 yang akhirnya dinamakan dengan Angkatan 45.
Hingga tahun 1960-an, karya sastra banyak digunakan oleh para sastrawan untuk menyampaikan kritik mereka terhadap keadaan sosial maupun politik yang berlangsung di Indonesia. Bahkan rekam jejak dari bibit-bibit kemunculan Gerakan 30 September juga dapat ditelaah dari puisi-puisi D.N. Aidit yang menyerukan propaganda dan dukungan terhadap prinsip Realisme Sosialis. Seperti yang kita ketahui, D.N. Aidit adalah pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menjadi dalang peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI. Sebelum pemberontakan ini terjadi, D.N. Aidit terlebih dahulu menyerukan pandangannya terhadap komunisme dalam puisinya yang berjudul “Kidung Dobrak Salahurus”. Pola-pola sastrawan yang menggunakan karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan ideologi politiknya seperti ini terus berlanjut hingga akhir periode Angkatan 1960-an atau biasa disebut dengan Angkatan 66.
Setelah periode sastra yang sarat akan ketegangan politik, pada periode 1970-an, muncullah karya-karya sastra baru yang lebih fokus pada eksperimentasi sastra. Meskipun pada beberapa kesempatan para sastrawan masih mengangkat isu-isu sosial sebagai latar belakang konflik mereka, tetapi porsinya tidak seekstrem periode sebelumnya. Salah satu tokoh yang terkenal pada periode ini adalah Sutardji Calzoum Bachri. Ia gemar melakukan eksperimen pada puisi-puisinya dengan mengembalikannya kembali ke bentuk asal sebagai kata-kata bebas. Beberapa puisinya seperti “Batu” dan “Kucing” dibuat tanpa mengindahkan aturan gramatika dan tipografi yang semestinya. Pada periode ini juga, dilakukan penggolongan puisi menjadi empat jenis: mantera, puisi imajisme, puisi lugu, dan puisi lirik.
Meskipun pada periode 1970-an, dunia sastra tidak begitu kental dengan isu-isu politik seperti halnya pada Angkatan 66, pada akhir periode 1970-an—tepatnya pada masa peralihan sebelum era masa kini yaitu pada tahun 1998, terjadi gebrakan yang cukup hebat. Hal ini sejalan dengan maraknya isu Reformasi 1998 di negara tercinta kita ini. Salah satu karya yang menonjol adalah puisi Widji Thukul yang berjudul “Peringatan”. Puisi ini berisi protes Widji Thukul terhadap tindakan pemerintah pada saat itu yang melanggar nilai-nilai demokrasi. Puisi “Peringatan”, seperti judulnya, juga merupakan seruannya dalam mengajak seluruh warga negara Indonesia untuk melakukan perlawanan terhadap tindakan sewenang-wenang pemerintah. Thukul adalah salah seorang aktivis yang menentang Orde Baru dan memperjuangkan Reformasi 1998. Selain puisi “Peringatan”, Thukul juga aktif menulis puisi-puisi lain yang mengandung penegakan kembali demokrasi. Tindakan Thukul membuatnya menjadi buronan apparat hingga puncaknya pada tanggal 23 Juli 1998, Widji Thukul dinyatakan menghilang dan hingga sekarang tidak diketahui keberadaanya. Peristiwa ini merupakan puncak dari keterlibatan sastra dalam memperjuangkan hak-hak warga negara.
Reformasi 1998 telah memberikan banyak perubahan bagi kehidupan bangsa Indonesia, termasuk kehidupan sastra. Mulai dari tahun 1998 hingga sekarang, karya sastra Indonesia sudah menjejaki fase baru yang dinamakan fase modern di mana sastra digital dan budaya pop mulai merebak. Banyak bermunculan nama-nama penulis baru seperti Dee Lestari, Ayu Utami, Habiburrahman El Shirazy, Andrea Hirata, dan seterusnya. Tema-tema yang diangkat dalam sastra-sastra modern jauh lebih bebas dan luas—tidak terikat pada suatu ideologi atau paham tertentu. Media persebarannya pun tidak terikat pada media cetak saja, melainkan juga merambah pada media-media elektronik seperti buku-buku elektronik atau bahkan bentuk-bentuk lain yang lebih kreatif seperti sastra digital yang menggabungkan karya sastra dengan kecanggihan teknologi. Sastra modern membebaskan para sastrawan untuk berkreativitas tanpa batas.
Sejak dimulainya perkembangan sastra Indonesia pada tahun 1920 hingga sekarang, karya-karya sastra telah mengukirkan banyak bukti-bukti sejarah yang menggambarkan bagaimana kondisi Indonesia dari tahun ke tahun, mulai dari pada masa penjajahan, merebut kemerdekaan, hingga polemik internal yang membuat warga negara Indonesia saling berperang dengan sesamanya. Perkembangan sastra di Indonesia berjalan beriringan dengan sejarah panjang bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang besar seperti sekarang ini dan menempati porsi perjuangannya sendiri. Tidak bisa dipungkiri bahwa karya sastra telah menjadi salah satu media yang efektif untuk menyuarakan pendapat dan bahkan bisa digunakan sebagai alat untuk mengubah dunia. Masih dalam momen peringatan hari kelahiran pancasila ini, alangkah baiknya kita mengingat kembali bagaimana perjuangan para pahlawan dalam memperjuangkan kemerdekaan hingga mewujudkan pancasila sebagai ideologi bangsa kita, termasuk di dalamnya perjuangan para sastrawan dalam memenuhi perannya sebagai penggores prasasti sejarah yang dijaganya agar sampai ke tangan kita. Semoga kita dapat meresapi kembali arti dari perjuangan tersebut dan mempertahankan nilai-nilai agungnya dalam setiap langkah kita.